Setiap manusia pernah mengalami mimpi tidak seorangpun yang membantah, tetapi mimpi itu apa tidak pernah ada definisi yang secara empirik bias dibuktikan kebenarannya. Analisis tentang mimpi bisa ilmiah, mistis, bisa juga sufistik. Pembicaraan tentang mimpi bukan saja dilakukan oleh dukun, peramal, orang tua, psikolog dan failasuf, tetapi Al Qur'an sebagai wahyupun membicarakannya.
Mimpi Menurut al Qur'an
Al Qur'an menyebut mimpi dalam dua term, yaitu ru'ya dan adghats ahlam). Term ru'ya disebut sebanyak duabelas kali, berhubungan dengan mimpi yang dialami oleh Nabi dan oleh orang biasa. Dalam surat Yusuf/12:4 (juga ayat 5 dan 100) misalnya dikisahkan bahwa Yusuf ketika masih kanak-akan bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan tunduk kepadanya. Ayat 43 surat yang sama mengisahkan bahwa Fir'aun bermimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan
oleh tujuh sapi kurus. Demikian juga Nabi Muhammad dalam surat alFath/48:27 dikisahkan bermimpi memasuki Masjid Haram dengan aman, dan pada surat al Isra/17:60 dikisahkan Nabi bermimpi tentang perang Badar. Nabi Ibrahim juga menerima perintah menyembelih Isma'il melalui mimpi130 Dua orang pegawai Fir'aun yang dipenjara bersama Yusuf juga dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 36 bermimpi, yang satu kembali bekerja melayani raja, dan yang satu bermimpi membawa roti di atas kepala, tapi rotinya dimakan burung .Sedangkan term ahlam disebut Al-Qur'an sebanyak lima kali , dua kali term al hulum (dari halama yahlumu) dalam arti mimpi "pertama" 131 satu kali ahlam (dari haluma yahlumu hilm) disebut dalam arti fikiran-fikiran dan dua kali disebut adghas ahlam, dalam arti mimpi-mimpi kalut, yakni pada surat Yusuf/12:44 dan Q/21:5. Pada surat al Anbiya/21:5, disebutkan bahwa kaum musyrikin menilai ayat-ayat Qur'an itu tak lebih dari produk mimpi kalut () . Bawahan Fir'aun yang tidak sanggup menta`birkan mimpi Fir'aun, yaitu mimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan tujuh sapi kurus, seperti yang dikisahkan surat Yusuf/12:44 juga memandang mimpi Fir'aun sebagai mimpi kalut
Dari ayat-ayat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa manusia dengan kapasitas dan kualitas nafs tertentu, baginya tidur lebih bersifat fisik, karena nafsnya masih bisa menerima stimulus dari luar dirinya dalam bentuk ilham atau wahyu seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika menerima perintah untuk menyembelih sebagai kurban, atau oleh Nabi Muhammad ketika diberi tahu lebih dahulu oleh Tuhan bahwa kaum muslimin akan berhasil menziarahi Makkah secara aman. Jadi, impian bisa merupakan isyarat dari apa yang telah, sedang atau akan terjadi, disebut (ru'ya al haqq) seperti yang dikisahkan surat al Fath/48:27 tersebut di atas.
Yusuf seperti yang dikisahkan surat Yusuf/12: 4 ketika masih kanak-kanak bermimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari tunduk kepadanya , suatu impian yang mengisyaratkan tentang perjalanan hidup dan nasib baiknya di belakang hari , satu hal yang dapat membuat saudara-saudaranya iri hati sehingga Nabi Ya'qub, ayah Yusuf seperti yang dikisahkan dalam lanjutan dari ayat itu (ayat 5) melarangnya untuk menceriterakan mimpinya itu kepada orang lain .Di belakang hari, menurut sebagian mufassir 40 tahun kemudian,133 impian itu, seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf ayat 100 menjadi kenyatan. Mimpi yang benar tidak mesti dialami oleh orang mukmin. Fir`aun pun seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 43 pernah bermimpi melihat tujuh ekor sapi germuk dimakan tujuh ekor sapi kurus yang kemudian dita'wil oleh Yusuf seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 47-49 sebagai isyarat akan datangnya musim paceklik dan cara-cara mengantisipasinya, sebagaimana juga dua teman Yusuf di penjara bermimpi masing-masing memperoleh keberuntungan dan nasib buruk. Adapun orang yang jiwanya sedang gelisah, mimpi yang dialami dalam tidurnya lebih merupakan adghats ahlam , yakni mimpi kalut.Tentang mimpi, banyak sekali hadis Nabi yang membicarakannya. Menurut kebanyakan hadis, mimpi dibagi menjadi dua yaitu ru'ya dan al hulm. Yang pertama berasal dari Allah dan yang kedua berasal dari syaitan. Salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abi Qatadah
misalnya berbunyi :
artinya : Ru'ya itu datangnya dari Allah dan al hulm itu dari syaitan. Maka bila salah seorang diantaramu mengalami mimpi kalut yang tidak disukainya, maka hendaknya meludah ke kiri tiga kali dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari keburukannya, maka sesungguhnya mimpi buruk itu tidak akan membahayakannya (HR Muslim)
Dalam hadis Abu Hurairah yang dihimpun oleh Muslim disebutkan pula tiga jenis ru'ya, yaitu (1) mimpi baik yang merupakan khabar gembira dari Allah ) (2) mimpi yang menyusahkan yang datang dari syaitan dan mimpi yang disebabkan oleh perhatian manusia terhadap sesuatu atau hal-hal yang telah berada di alam bawah sadarnya.135 Dalam hadis itu juga disebut bahwa mimpi seorang mukmin merupakan 1/46 bagian dari kenabian
Jadi, dari keterangan Al-Qur'an dan hadis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa manusia dengan kondisi tertentu, meski matanya tertidur, tetapi qalb tidak ikut tertidur. Salah satu bait pujian kepada Nabi Muhammad antara lain menyebutkan bahwa meski mata Rasul telah mengantuk tetapi hatinya tidak tertidur.
Psikologi Mimpi
Banyak di antara kita mungkin yakin bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Anggapan seperti ini tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara Barat. Orang Jerman, misalnya, mengatakan, “Träume sind Schäume”; sementara orang Inggris mengatakan “Dreams are froth”. Artinya, “Mimpi hanyalah buih tidur”. Jadi, abaikan saja! Dalam kesibukan kita sehari-hari, kesadaran bekerja lebih banyak. Setelah lepas dari kesibukan, kita lalu mengistirahatkan pikiran dan kepenatan lewat tidur. Bila benar bahwa tidur yang menyehatkan memiliki durasi 7 sampai 8 jam per hari, maka ini berarti manusia menghabiskan rata-rata 1/3 hidupnya dengan tidur. Dalam tidur itulah kita bermimpi. Dan dalam mimpi, kesadaran kita menjadi lebih lemah dan ketidaksadaran menjadi lebih banyak bekerja. Sudah seringkali terdengar bahwa ketidaksadaran adalah dunia kejiwaan yang jauh lebih luas daripada ketidaksadaran. Itulah alasan penting mengapa psikologi menganggap perlunya memperhatikan mimpi. Mimpi adalah sumber informasi yang penting dalam memahami pesan-pesan yang mengalir dari dunia ketidaksadaran (the Unconscious). Sayangnya, pesan-pesan dari ketidaksadaran keluar lewat simbol-simbol yang seringkali membingungkan. Karena jalurnya adalah simbol, mimpi tidak bisa diterjemahkan secara harfiah. Dalam bekerja, penafsir mimpi butuh pengetahuan tentang simbol-simbol. Mimpi sebenarnya sudah dibicarakan oleh banyak pemikir dan ilmuwan, namun belum mendapat perhatian serius hingga akhir abad ke-18. Di awal abad ke-19, Sigmund Freud lewat bukunya yang berjudul The Interpretation of Dreams (Penafsiran Mimpi) berhasil menyedot banyak perhatian. Kajian-kajian yang lebih jauh tentang mimpi merebak lewat tulisan dan ceramah psikolog Carl Gustav Jung. Karena pentingnya peran mimpi dalam memahami ketidaksdaran, Freud dan Jung seringkali mengajak klien-klien atau pasien-pasiennya menceritakan mimpimya. Jung, misalnya, kerap memulai sesi terapinya dengan bertanya, “Ada mimpi yang bisa Anda ceritakan?” Dari mimpi itu, ia bisa mendapatkan beberapa informasi tentang permasalahan klien-kliennya.
Sejarah Mimpi
Di era kuno, mimpi dianggap berhubungan dunia supranatural. Artinya, dewa-dewa atau setan muncul lewat mimpi. Umumnya, mimpi yang indah dan membahagiakan diartikan sebagai kehadiran dewa/Tuhan; sementara mimpi buruk (nightmare) diartikan sebagai kehadiran setan. Pandangan itu mulai bergeser ketika filsuf Aristoteles mengemukakan pandangannya tentang mimpi. Menurutnya, mimpi adalah aktivitas mental seseorang ketika ia tidur. Di saat tidur, indera tetap bisa menangkap rangsangan dari luar. Rangsangan itu kemudian diperbesar lewat mimpi ibarat tampilan layar komputer yang diperbesar dengan menggunakan LCD. Sebagai contoh, ketika seseorang merasa agak panas di bagian tertentu tubuhnya, maka ia bisa bermimpi sedang berada di tengah kobaran api. Sesudah Aristoteles, penafsiran mimpi kian berkembang. Macrobius dan Artemidorus mengemukakan pandangan tentang mimpi yang populer cukup lama. Mereka membagi mimpi menjadi dua, yaitu:
1. Mimpi yang berkaitan dengan masa lalu dan masa sekarang. Artinya, mimpi punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa sebelum tidur. Ketika seseorang tidur dalam keadaan lapar, ia bisa mimpi menyantap makanan enak; ketika seseorang memikirkan hal-hal yang mengerikan atau ngobrol tentang hantu sebelum tidur, maka ia bisa mengalami mimpi buruk (nightmare);
2. Mimpi yang berkaitan dengan masa depan. Artinya, mimpi bisa membawa pesan tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi. Mimpi ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Oraculum, yaitu mimpi ke-nabiah-an atau mimpi yang membawa pesan dari Yang Ilahi;
b. Visio, yatu mimpi ramalan untuk kejadian di masa mendatang; dan
c. Somnium, yaitu mimpi simbolis yang perlu ditafsirkan dengan hati-hati, seperti bertemu naga atau monster.
Lama kelamaan, semakin banyak ahli yang berbicara tentang mimpi. Dua tokohnya yang sangat terkenal dalam psikologi adalah Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung.
Tidur itu Sahabat Mimpi
Ada seorang mahasiswa yang mengatakan kepada saya, “Pak, aku normal gak sih? Aku kayaknya jarang banget mimpi.” Saya lalu berkomentar, “Kalau kamu normal, kamu pasti sering bermimpi. Kamu bukannya jarang mimpi, tapi sering melupakan mimpimu”. “Melupakan mimpi” memang sering terjadi pada banyak orang. Ini bisa dimaklumi. Ada beberapa hal yang membuat kita seringkali melupakan mimpi:
· Banyak orang tidak berminat dengan pesan mimpi. Mereka menganggapnya tidak punya arti sehingga tidak perlu dipikirkan;
· Kalau seseorang baru saja terbangun dari tidur, tangkapan inderanya pasti lemah. Kita sebut saja hawa bangun tidur. Dalam keadaan ini, seseorang butuh penyesuaian untuk memperjelas penglihatan dan pendengarannya. Ketika badan sudah terasa segar, indera menjadi lebih kuat dan ingatan menjadi lebih mudah . Nah, mimpi gampang dilupakan karena gambar-gambar yang dimunculkannya terlalu lemah di saat kita baru saja bangun. Mimpi yang umum diingat adalah mimpi yang punya kesan kuat. Remaja yang lagi jatuh cinta dan memimpikan orang yang ditaksirnya akan lebih mudah mengingat mimpinya itu karena kesan yang begitu kuat;
· Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih mudah mengingat peristiwa yang terjadi berulang kali. Artis yang berkali-kali dimunculkan di layar TV akan lebih mudah diingat. Bagaimana dengan mimpi? Kita tidak bisa memutar ulang mimpi sehingga kita mudah melupakannya;
· Dalam keadaan sadar, kita cenderung mengingat sesuatu bila kita mengelompokkan atau mengaturnya. Seorang teman pernah kembali memperkenalkan diri kepada saya, “Masih ingat aku”? Saya menjawab, “Maaf, agak-agak lupa.” Dia lalu mengatakan, “Kita pernah ketemu di Semarang”. Ingatan saya masih mereka-reka. Dia lalu melanjutkan, “Kita ketemu di Java Mall ... di acara Dasawarsa Psikologi UNDIP”. Saya segera mengingatnya. Begitulah kerja kesadaran kita yang lebih mudah mengingat bila ada pengelompokan dan pengaturan. Sayangnya, ini tidak terjadi dalam mimpi. Ketika seseorang bermimpi, gambar-gambar yang muncul kurang teratur sehingga mudah dilupakan;
Mimpi itu proses dan peristiwa yang wajar dalam tidur. Meski demikian, kita sebaiknya tidak menyepelehkannya. Freud bahkan menyebut mimpi sebagai pintu gerbang menuju ketidaksadaran. Ketidaksadaran berbicara kepada kita lewat mimpi. Mimpi itu diteruskan lewat simbol-simbol. Karena itu, untuk memahami pesan ketidaksadaran diperlukan pengetahuan tentang simbol-simbol. Dengan demikian, kita tidak hanya menebak asal-asalan, tapi juga berusaha menemukan pola-pola dasarnya.
Penafsiran mimpi
Dalam menafsirkan mimpi, kita perlu sensitif melihat keterkaitan mimpi itu dengan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar orang yang bermimpi. Penafsiran mimpi memiliki kadar kesulitan interpretasinya sendiri-sendiri. Semakin Anda sulit memahaminya, semakin Anda membutuhkan profesional yang bergerak di bidang interpretasi mimpi. Berikut ini adalah beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan mimpi:
Kadang-kadang, mimpi menunjukkan respons bawah-sadar terhadap rangsangan luar yang dialami tubuh.
Rangsangan luar yang diterima tubuh saat tertidur juga mendapat respons dari bawah-sadar. Berikut ini adalah beberapa contoh:
Rangsangan luar | Mimpi yang mungkin dialami |
Bunyi guntur | Berada di tengah-tengah peperangan |
Kokok ayam | Mendengar orang berteriak ketakutan |
Bunyi pintu | Pencuri masuk ke rumah |
Seprei terlepas di malam hari | Telanjang atau jatuh ke dalam air |
Tidur dengan menekuk kaki (seperti bila merasa dinginn) | Sedang berdiri di tepi jurang yang menakutkan dan terjatuh. |
Kepala di bawah bantal | Sesak dan terkubur di bawah benda yang besar, seperti batu |
Rasa sakit di bagian tubuh tertentu | Perasaan diperlakukan buruk, diserang, atau dilukai |
Mimpi-mimpi di atas cukup sering terjadi. Berikut ini adalah mimpi yang cukup jarang terjadi, namun masih berkaitan dengan bagaimana bawah-sadar mengantisipasi kejadian yang dialami tubuh.
Cerita mimpi | Saat terjaga |
Disergap beberapa pria, terjatuh ke tanah. Beberapa pria itu menancapkan bambu tajam di antara ibu jari dan jari berikutnya. | Ada tali yang tersangkut di antara jari kaki. |
Terjatuh dari tembok yang tinggi. | Tiang penyanggah tempat tidur jatuh ke lantai. |
Mendaki gunung dan suhu tanah terasa sangat panas. | Tidur ketika kaki direndam air hangat. |
Bermimpi dikuliti orang-orang Indian. | Tidur dengan tuam hangat di kepala. |
Kadang-kadang, mimpi adalah halusinasi yang wajar sebelum masuk ke dalam tidur lelap.
Ketika kita hampir benar-benar tertidur, gambaran-gambaran mental tertentu biasanya muncul. Gambaran itu muncul dari dalam diri kita sendiri. Ada seorang teman yang baru saja tertidur mengatakan kepada saya, “Aku kok rasanya mendengar bunyi hujan.” Saya menjawabnya, “Cuacanya cerah banget.” Saya tahu, dia mengalami halusinasi. Halusinasi ini wajar dan normal. Dalam psikologi, halusinasi ini disebut halusinasi hipnagogis.
Kadang-kadang, mimpi adalah respons bawah-sadar terhadap kondisi organ-organ tubuh
Apa yang dialami organ dalam tubuh kita kita bisa juga dirasakan bawah-sadar. Bawah-sadar kita meresponsnya lewat mimpi. Contoh:
Mimpi | Penyebab yang mungkin |
Jatuh dari ketinggian | Tangan yang menjauh dari badan atau lulut yang ditekuk |
Gigi tanggal | Ada rangsangan pada gigi |
Terbang | Udara yang naik turun dengan ringan di paru-paru |
Kadang-kadang, Mimpi bersumber dari peristiwa yang terekam secara tidak sadar dalam kegiatan sehar-hari
Lingkungan di sekitar kita menawarkan macam-macam rangsangan ketika kita dalam keadaan terjaga. Di antara macam-macam stimulus itu, tentu yang terasa lebih menarik perhatian. Kita merekamnya dan menyimpannya dalam ketidaksadaran. Di saat mimpi, apa yang kita rekam itu bisa keluar. Seorang teman bermimpi berada dalam satu rumah yang sejuk dan nyaman sekali. Saya lalu mengajaknya mengingat kejadian-kejadian di hari sebelumnya. Dia tidak merespons apa-apa. Saya lalu menunjuk satu gambar di mejanya. Dia lalu mengatakan, “Oh iya, saya memang sempat melihat gambar ini cukup lama dan berimajinasi tentangnya
METAFISIKA MIMPI, TELAAH FILSAFATI TERHADAP TEORI MIMPI C.G. JUNG (1875-1961)
Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Meski mimpi termasuk pengalaman pribadi, namun merupakan fenomena universal yang memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Baik manusia dalam bentuk kecil (anak-anak) atau dewasa, pejabat atau rakyat jelata, semuanya pernah mengalami mimpi. Karena mimpi tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka ia mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan ini. Ada pengaruh positif, namun juga tidak sedikit pengaruh negatifnya. Sepanjang catatan sejarah kebudayaan manusia, mimpi dan penafsirannya telah mengilhami orang-orang suci dan para Nabi, penyair serta raja-raja, maupun para filsuf dan psikolog. Mahmoud Ayoub dalam kata pengantar buku Muhammad al-Akili, Ensiklopedia Ta'wil Mimpi Islam Ibn Sirin (1997: XV), mengatakan bahwa tafsir mimpi telah diamalkan sejak jaman dahulu, mulai dari para utusan Tuhan hingga para tokoh Babilonia beribu-ribu tahun yang lalu., Aristoteles, Cicero, Shakespeare, Goethe, bahkan Hitler dan Napoleon percaya bahwa mimpi tertentu memiliki kemampuan magis dan kemampuan meramalkan masa depan. Budaya kala itu beranggapan bahwa mimpi adalah kolam air (semacam cermin wajah masa lalu) dan juga visi untuk masa depan. Nerys Dee (2001: 29) juga mengatakan hal yang sama Umat manusia sejak berabad-abad yang lampau telah memberi arti penting pada mimpi dan menganggapnya sebagai nilai praktis. Artinya mereka menjadikan mimpi sebagai alat meramalkan masa depan dan mencari isyarat atau pertanda dalam mimpi (Sigmund Freud, 2002: 82) Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi. Meski tema mimpi dalam dunia akademik lebih dikenal dan populer di kalangan psikolog dengan displin keilmuan psikologinya, namun tulisan ini tidak sedang mencoba mendefinisikan mimpi dari sudut pandang ilmu psikologi, meskipun Carl Gustav Jung sendiri, sebagai tokoh yang penulis akan telaah teori mimpinya adalah juga seorang psikolog. Namun dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat aspek-aspek metafisik filsafati dari teori mimpi Jung tersebut.
ASPEK-ASPEK METAFISIS DALAM TEORI MIMPI CARL GUSTAV JUNG
Jung dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswil dan meninggal pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnach, Swiss. Ia lulus dari Fakultas kedokteran Universitas Basle pada tahun 1900. Pada tahun 1923 ia berhenti menjadi dosen untuk mengkhususkan dirinya dalam riset-riset. Sejak 1906 ia mulai tulis menulis surat kepada Sigmund Freud yang baru dijumpainya pertama kali setahun kemudian yakni tahun 1907. Pertemuan yang terjadi di Wina tersebut sangat mengesankan kedua belah pihak, sehingga terjadi tali persahabatan antara mereka. Freud begitu menaruh kepercayaan kepada Jung, sehingga Jung dianggap sebagai orang yang patut menggantikan Freud di kemudian hari (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 186-187). Carl Gustav Jung adalah murid Sigmund Freud. Freud adalah adalahpenggagas psikoanalisa yang merupakan seorang Jerman keturunan Yahudi. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1865 di Freiberg, dan pada masa bangkitnya Hitler ia harus melarikan diri ke Inggris dan meninggal di London pada tanggal 23September 1939 (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 175). Meskipun mengambil beberapa pendapat gurunya, ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Freud,terutama karena gurunya tersebut terlalu menekankan pada seksualitas dan berorientasi terhadap materialistis dan biologis di dalam menjelaskan teoriteorinya. Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius (Yadi Purwanto, 2003: 121). Ia percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuaskan atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. Carl Gustav Jung, 1989: 10. Jung mendefinisikan kembali istilah-istilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipakai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan. Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandakan energi seksual, tetapi semua proses kehidupan yang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92). Id, ego, dan superego, adalah istilahistilah yang tak pernah dipakai oleh Jung. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah conciousness (kesadaran), personal unconciousness (ketidaksadaran pribadi), dan collective unconciousness (ketidaksadaran kolektif) Conciousness dan personal unconciousness sebagian dapat diperbandingkan dengan id dan ego, tetapi terdapat perbedaan yang sangat berarti antara superego-nya Freud dengan collective unconciousness, karena Jung percaya bahwa yang terakhir ini adalah wilayah kekuatan jiwa (psyche) yang paling luas dan dalam, yang mengatur akar dari empat fungsi psikologis, yaitu sensasi, intuisi, pikiran, dan perasaan. Selain itu, juga mengandung warisan memori-memori rasial, leluhur dan historis. Untuk dapat mengerti aspek-aspek metafisik dalam teori mimpi Jung, menurut penulis kita harus menelusuri dan memahami berbagai terma yang biasa dipakai oleh Jung di dalam menguraikan teori mimpinya.
Archetype dan Autonomous Complex
Dalam psikologi Jung, ketidaksadaran kolektif dapat terdiri atas komponenkomponen dasar kekuatan jiwa yang oleh Jung disebut sebagai archetype. Archetype merupakan konsep universal yang mengandung elemen mitos yang luas. Konsep archetype ini sangat penting dalam memahami simbol mimpi karena ia menjelaskan kenapa ada mimpi yang memiliki makna universal, sehingga bisa berlaku bagi semua orang. Dan ada pula mimpi yang sifatnya pribadi dan hanya berlaku untuk orang yang bermimpi saja. Jung memandang archetype ini sebagai suatu autonomous complex, yaitu suatu bagian dari kekuatan jiwa yang melepaskan diri dan bebas dari kepribadian. Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92) bagi Jung pandangan Freud terlalu menjagokan pandangan seksualitas dan orientasi yang mekanistis-biologis. Jung mengajak psikolog untuk meyakini asumsi dasar yang berbeda, ia menyatakan bahwa manusia selalu terkait erat dengan mitos, hal mistis, metafisis, dan pengalaman religius. Jung melihat manusia sebagai makhluk biologis yang jiwanya berkait erat dengan pola-pola primordial. Manusia memang memiliki aspek kesadaran dan ketidaksadaran bahkan kumpulan kolektif ketidaksadaran yang berbeda dengan dorongan Id menurut Freud. Dengan adanya ketidaksadaran kolektif, manusia memiliki sifat universal dalam hal sensasi, suara qalbu, pikiran dan perasaan. Argumentasi yang diajukan adalah bahwa manusia memiliki nenek, moyang yang sama, ras keturunan dari satu induk dan dengan demikian memiliki akar historis yang relatif sama. Evolusi manusia tidak sepenuhnya menghilangkan dasar memori yang terwariskan dari nenek moyang. Jung menyatakan hal tersebut sebagai arketif-arketif (archetypes) yang menjadi dasar dari jiwa manusia.
Persona
Personal autonomous complex atau archetype dipandang oleh Jung sebagai bagian dari dari kekuatan jiwa. Ia menyebutnya sebagai persona, bayang-bayang, anima, dan animus (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 87-88). Hal-hal inilah yang muncul dalam mimpi, dalam bentuk figur-figur yang dikenal atau tidak dikenal oleh orang yang bermimpi. Persona adalah wajah yang ditampilkan oleh individu. Persona merupakan kepribadian yang sadar, yang dapat diidentikkan dengan ego-nya Freud. Dalam mimpi, ia muncul dalam bentuk sesosok figur yang melambangkan aku dalam suasana tertentu. Kadang-kadang, dapat berupa seorang tua yang keras, wanita bijak, orang gagah, badut, atau anak kecil. Inilah perilaku dari dari pikiran penghasil mimpi kita. Kadang kala, dalam mimpi, hal ini akan diimbangi dengan sebuah karakter yang memainkan peran yang berlawanan. Contohnya, seseorang yang dalam keadaan sadar sebagai sosok yang bermoral, ketika di dalam mimpi bisa jadi berupa seorang bajingan atau sebaliknya.
Bayang-bayang
Sisi kuat dari kepribadian seorang individu biasanya mendominasi seluruh persona. Aspek-aspek yang lebih lemah dominasinya hanya menjadi bayangbayang diri. Jung mengistilahkannya dengan autonomous complex atau archetype yang lain, yang muncul ke permukaan di dalam mimpi. Kadang-kadang, naluri dan desakan diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang, bersama perasaanperasaan negatif dan destruktif. Ia dapat berupa satu sosok yang mengancam, yang menyamar sebagai seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang yang bermimpi. cara untuk mengenali bayang-bayang figur di dalam sebuah mimpi adalah dengan mengamati reaksi dan perasaan kita yang paling negatif terhadap seseorang atau suasana tertentu, karena hal yang paling tidak kita sukailah yang membentuk inti dari bayangan tersebut.
Anima dan Animus
Anima dan animus adalah istilah yang dibuat oleh Jung untuk menggambarkan karakteristik dari seks yang berlawanan, yang ada dalam setiap diri laki-laki dan perempuan. Anima adalah sifat kewanitaan yang tersembunyi di dalam diri laki-laki, sedangkan animus adalah sifat kelaki-lakian yang tersembunyi dalam diri perempuan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94-96). mAnima adalah pusat kasih sayang, emosi, naluri, dan intuisi dari sisi kepribadian laki-laki. Archetype ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh perempuan yang dikenali oleh seorang laki-laki dalam hidupnya, khususnya ibunya sendiri. Bergabungnya sifat tersebut ke dalam kepribadiannya memungkinkan seorang laki-laki untuk mengembangkan sisi sensitif dari tabiatnya, sehingga memungkinkannya untuk menjadi individu yang tidak terlalu agresif, baik hati, hangat dan penuh pengertian. Memungkiri atau menekan anima mengakibatkan timbulnya sifat keras kepala, keras, kaku, dan bahkan kejam secara fisik maupun emosi. Animus adalah sisi praktis, independen, percaya diri, dan keberanian mengambil resiko dari kepribadian wanita. Sebagai sebuah archetype, hal ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh laki-laki yang dikenal oleh seorang, wanita di dalam hidupnya, terutama ayahnya sendiri. Bergabungnya sifat ini ke dalam memungkinkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, pengelola yang baik, dan pencari nafkah. Namun, jika seorang wanita mengabaikan aspek-aspek ini dalam dirinya, maka ia menjadi cengeng, tergantung, cerewet, dan tidak aman. Dengan adanya kesepakatan terhadap archetype ini, memungkinkan lakilaki dan wanita dapat memahami dengan lebih baik terhadap lawan jenisnya. Hal ini juga akan memberdayakan mereka untuk memperluas dan mengembangkan kemampuan mereka secara maksimal. Munculnya anima atau animus dalam mimpi seseorang menunjukkan integrasi kepribadian. Oleh Jung, integrasi ini disebut sebagai proses individuasi (Carl Gustav Jung, 1989: 16-17)
Diri yang "Ideal"
Diri, sebagai sebuah archetype mewakili tabiat ideal dan spiritual dari lakilaki dan wanita. Ketika diri muncul di dalam mimpi, biasanya menunjukkan bahwa proses individuasi telah selesai. Dalam mimpi seorang laki-laki, diri muncul sebagai laki-laki tua yang bijak. Dalam mimpi seorang wanita, figur ini berwujud ibu yang agung. Masing-masing dari figur ini memiliki empat aspek yang mewakili empat sifat dari kekuatan jiwa, yakni kecerdasan, emosi, kepraktisan, dan intuisi. Namun sifat-sifat ini juga memiliki aspek positif dan negatifnya (Carl Gustav Jung, 1989: 10). Keempat aspek ganda dari kewanitaan dan kelelakian tersebut membentuk karakteristik archetype dasar dari seorang individu. Jarang sebuah aspek mendominasi sepenuhnya, namun bila hal itu sampai terjadi, maka dikenali sebagai eksentrisitas. Keseimbangan di antara keempat sifat yang posiif tadi perlu diusahakan, ditambah dengan pengenalan terhadap empat karakteristik yang berlawanan, yang dapat muncul dalam keadaan tertentu.
Figur-figur archetype simbolis
Figur-figur yang muncul didalam mimpi mewakili sifat-sifat yang tersembunyi di dalam diri kita. Ini dapat disimbolkan dengan benda atau tokoh. Misalnya, laba-laba betina yang suka menyantap pejantannya ( jenis Black Widow ), menggambarkan aspek negatif dari ibu atau istri. Dongeng tentang pangeran dan puteri yang hidup berbahagia sampai akhir masa, Cinderella, dan Putri Salju, adalah gambaran sifat-sifat romantis. Ketika kita sedang mencari pasangan lain jenis, citra-citra inilah yang menyamar di alam tidur kita, seperti kata ungkapan " pria dan wanita impian" (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94-96). Bagi Jung mimpi adalah upaya memanipulasi reaksi terhadap lingkungan dengan persona sebagai pemeran subyek dalam mimpi. Persona dalam mimpi dapat berwujud berbagai bentuk: figur ibu, laki-laki, perempuan ataupun seribu wajah. Persona memang dapat bersandiwara memerankan arketif, berupa bayangbayang (the shadow). Mimpi adalah gambaran adanya arketif-araketif purbakala, seolah-olah mimpi merupakan arena menemukan kembali jati diri kuno sebelum berevolusi. Jika kita mengikuti pendapat Jung, maka boleh jadi seorang bayi yang tidur sambil tersenyum, menggambarkan ia sedang bermimpi hidup di surga, suatu alam sebelum ia lahir ke bumi, karena bagi Jung mimpi indah adalah bayang-bayang pengalaman surgawi. Terdapat pula bayang-bayang yang terbentuk dari insting hewani yang terproyeksikan dalam simbol-simbol tertentu. Sebagai misal: perasaan bersalah (dosa) diproyeksikan dalam bentuk mimpi tentang kejahatan atau musuh. Salah satu cara untuk mengenali figur yang digambarkan oleh bayangan dalam mimpi, kita perlu memeriksa reaksi yang paling negatif atau positif perasaan kita pada orang dan lingkungan di sekitar kita, baik figur ayah maupun ibu. Pemilihan simbol-simbol mimpi dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Simbol yang diperoleh dari luar merupakan simbol yang berhasil direkam oleh individu, simbol-simbol ini mudah untuk dimaknai karena terjadi dalam tataran kesadaran. Berbeda dengan simbol-simbol yang diperoleh dari
internal, yakni kumpulan kolektif-ketidaksadaran, akan melahirkan mimpi yang mistis, aneh, dan karena tidak biasa menganggapnya sebagai omong kosong. Kenyataannya, di dalam mimpi kita melakukan komunikasi dengan diri kita sendiri. Bahasa yang kita pergunakan tidaklah harus simbolik, melainkan imajinatif yang sangat kuno yang hanya dimengerti dengan bahasa sensasi, pikiran, emosi, dan memori kejiwaan arketif. Simbol-simbol arketif ini relatif sama bagi semua manusia, karena kita mengalami masalah kehidupan yang sama, kecemasan, kesulitan, ambisi, keinginan, frustasi, insting, dan dorongan yang kesemuanya diwakili oleh bahasa imajinasi yang sama.
PENUTUP
Pada hakikatnya, mimpi adalah deretan dari gambaran mental yang saling bertalian dan berlangsung selama orang tidur. Freud dan para pengikutnya memahami mimpi hanya sebagai akibat dari pengaruh mekanisme fisik dancermin dari gejala psikologis (kejiwaan) yang dialami seseorang semata. Jung tidak menerima pendapat Freud yang terlalu menekankan aspek material manusia ini. Bagi Jung, kepribadian adalah paduan kompromi dari inner-life dengan dunia luar. Dengan demikian bagi Jung mimpi merupakan bukti adanya dimensi innate religious, atau kesadaran beragama yang bersifat bawaan, sebab mimpi-mimpi yang digambarkan oleh menusia purba hingga modern sekarang ini tetap menggambarkan paradigma pskologis tentang hubungan manusia dengan alam spiritual. Melalui analisa mimpi dari berbagai praktek psikologinya, ia menyimpulkan bahwa adanya kekuatan-kekuatan terpendam yang bersifat religius yang memanifestasi berupa bentuk-bentuk memuliakan, mensakralkan sesuatu di dalam kehidupan manusia (Carl Gustav Jung, 1989: 89)